“PEMIKIRAN
EKONOMI IBNU TAIMIYAH”
A. Fungsi
Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, beliau menyatakan bahwa
fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk
memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapan sebagai
berikut:
Atsman
(harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang( dimaksudkan sebagai pengukur nilai
barang-barang
)mi’yar
al-amwal( yang
dengannya jumlah nilai barang-barang )maqadir al-amwal( dapat
diketahui, dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.
Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut )…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk
diri mereka sendiri(, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali,
menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan
keuntungan. Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang
dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang
sebenarnya. Terdapat
sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan
transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas, {1}uang tidak mempunyai
kepuasan intrinsik yang dapat memuaskan kebutuhan dan
keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang
memuaskan kebutuhan.
Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk
ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam
Islam, {2} komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya
uang dengan nominal Rp100.000,00 yang kertasnya kumal
nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas
meskipun model dan tahun pembuatannya sama, dan {3} komoditas akan menyertai secara fisik
dalam transaksi jual beli.
Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di
showroom. Sementara
uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara
tunai maupun cek. Penjual
tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa. Islam menempatkan fungsi uang
semata-mata
sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk
diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi, sehingga
yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu
tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang
lain, maka pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud(, dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua
orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak membayar tunai
sementara pihak lainnya berjanji membayar di kemudian hari, maka pihak pertama
tidak akan dapat menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga
benar-benar
uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan
kesempatan. Dalam
pandangan Ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah Saw. melarang
jenis transaksi seperti ini.
B. Pencetakan
Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan
Bani Mamluk.
Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang
peninggalan Bani Ayyubi.
Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan
lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang
berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat
transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah
yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan
Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai
nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value(. Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai
mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata
uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut :
Penguasa
seharusnya mencetak fulus) mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai
yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman
terhadap mereka.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat
dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar
di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk
yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak
Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional (atas
transaksi masyarakat(
dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik
mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak
seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan
menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi
koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang
termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga
nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama
tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui
teori kuantitas uangnya Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan melalui
persamaan : MV = PT.
Dimana
M (Money)adalah jumlah uang beredar, V (Velocity)adalahkecepatan uang beredar,
P(Price(adalah
tingkat harga produk dan T(Trade)adalah nilai produk yang diperdagangkan. Apabila
pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa
memperhatikan daya serap sektor riil, maka jumlah uang beredar di masyarakat, M
akan meningkat.
Sementara bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di
atas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan
kata lain, konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan(tidak
stabil(, yang berarti terjadi inflasi yang
meningkat.
C. Implikasi
Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang
dilakukannya, Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai Fulus ditentukan
berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan Fulus dalam
jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga
dari negara-negara
Eropa. Untuk
mendapatkan tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan Fulus
secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan Dirham semakin
sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi
semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan Fulus
sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi
keuangan yang mendorong naiknya harga. Persoalan kelaparan ini diungkapkan Al-Maqrizi
dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi Al-Ghummah sebagai berikut :
Ketahuilah,
semoga Allah memberi taufiq kepadamu untuk mendengarkan kebenaran dan memberi
ilham kepadamu nasehat makhluk, bahwa sudah jelas seperti yang telah lewat,
rusaknya perkara adalah karena perncanaan yang buruk bukan karena naiknya harga-harga. Jikalau
mereka yang dibebankan oleh Allah untuk mengatur perkara hamba mendapat taufiq
lalu mengembalikan interaksi ekonomi kepada bentuk sebelumnya menggunakan emas
saja dan mengembalikan harga-harga barang dan nilai pembayaran kepada dinar atau
kepada apa yang terjadi setelah itu, yakni transaksi menggunakan perak yang
dicetak, maka pada keadaan yang demikianlah pertolongan kepada umat, perbaikan
persoalan-persoalan,
dan kesadaran terhadap kerusakan yang sudah mencapai tahap kehancuran ini. Lebih
jelas dari itu bahwa mata uang apabila dikembalikan pada bentuknya yang semula,
dan orang yang mendapatkan uang dari pajak bumi, atau sewa bangunan, atau
pegawai pemerintahan, atau pembayaran jasa, dia mendapatkannya dalam bentuk
emas atau perak sesuai dengan apa dilihat oleh mereka yang mengurus persoalan
public. Pada
saat sekarang dengan beragamnya kondisi apabila diberlakukan emas dan perak,
tentunya semua transaksi tidak ditemukan lagi penipuan sama sekali, karena
semua harga yang berlaku diukur berdasarkan emas dan perak. Namun ada beberapa sebab yang
menjadi harga menjdi naik, yaitu, pertama, rusknya cara pandang orang yang
ditugaskan untuk memikirkan hal itu dan kebodohannya dalam mengatur persoalan. Ini
penyebab utama kebanyakannya. Kedua, musibah yang menimpa sesuatu sehingga persediaan
menjadi sedikit seperti yang terjadi pada daging sapi yang tertimpa kematian
missal pada tahun 808, dan yang terjadi pada gula karena kurangnya tebu dan
perasannya pada tahun 807 dan 808. dan ini hanya penyebab kecil dibandingkan sebab pertama.
Selanjutnya, Dirham juga
mengalami perubahan komposisi kandungan pada zaman pemerintahan Nasir. Satu
Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada saat pemerintahan di bawah cucu Nasir, yaitu Nasir
Hasan (1358 M
(pemerintah menetapkan keputusan bahwa Fulus yang sedang beredar di
masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi, dan pemerintah mengeluarkan mata uang
baru sebagai penggantinya. Merespon berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh
penguasa pada saat itu, Ibnu Taimiyah menyatakan :
Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata
uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini
akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata
uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman
karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.
Beliau menyarankan agar penguasa tidak
membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang berada di tangan
masyarakat. Ketika
pemerintah menyatakan tidak berlaku lagi atas mata yang dipegang masyarakat,
yang berarti uang diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak mempunyai nilai
yang sama dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai uang, maka masyarakat
sangat dirugikan dalam hal ini. Daya beli masyarakat secara langsung akan terpangkas
drastis karena terjadi penurunan nilai asetnya dengan adanya kebijakan tersebut.
Menurutnya, penciptaan mata uang dengan nilai
nominal yang lebih besar daripada nilai intrinsiknya, dan kemudian menggunakan
uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari
masyarakat akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta akan
menyebabkan inflasi serta pemalsuan uang. Beliau menganggap bahwa perdagangan mata
uang sebagai bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan bertentangan dengan
kepentingan umum.
Dalam masalah ini Ibnu Taimiyah mengungkapkan :
Lebih
daripada itu, apabila nilai intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan
menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata
uang yang buruk dan menukarkanya dengan mata uang yang baik, dan kemudian
mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang
buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang
masyarakat akan menjadi hancur.
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa
agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta
mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak
uang (seignorage( Saran beliau cukup
beralasan, karena setiap pemerintah butuh uang kemudian dengan seenaknya
mencetak uang, apalagi nilai nominal mata uang tersebut lebih kecil daripada
nilai intrinsiknya, maka kondisi tersebut akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat
inflasi tinggi, ketika jumlah uang beredar berlebihan, sementara pendapatan
masyarakat nominal tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat akan
menurun, yang berarti masyarakat menjadi semakin miskin. Sungguh memprihatinkan, dan
tidak ada artinya ketika pendapatan penguasa/pemerintah meningkat hasil
menikmati keuntungan )selisih antara nilai nominal dan nilai intrinsik mata
uang Fulus(, namun di sisi lain pendapatan riil
masyarakat secara umum semakin berkurang. Penguasa juga harus mencetak uang sesuai
dengan nilai riilnya tanpa bertujuan untuk mencari keuntungan apapun agar
kesejahteraan masyarakat tetap terjamin.
Di bagian akhir pernyataan beliau di atas,
dinyatakan bahwa uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan
kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu
jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana
dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga,
sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang
Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk
dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau
lebih menguntungkan.
Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus
sebagai alat transaksi. Akibatnya, peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham
berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya
Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham
mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil. Ungkapan Al-Maqrizi berikut ini akan
memperjelas kondisi tersebut :
Ketika
pada masa Mahmud bin Ali, penanggung jawab raja Al-Dzahir Barquq—semoga Allah
merahmatinya—memperbanyak uang tembaga. Pencetakan uang tembaga terus berlanjut
beberapa tahun sedangkan orang asing membawa dirham-dirham yang ada di Mesir ke
negeri mereka, dan penduduk negeri meleburnya untuk dimanfaatkan sehingga
berkurang dan bahkan hamper punah )habis(dan uang tembaga beredar secara
luas sehingga seluruh barang jualan dihitung dengannya.
Dia
(Al-Dzahir
Barquq( membangun gedung percetakan uang tembaga
di Alexandria
sehingga uang tembaga semakin banyak di tangan orang-orang dan beredar luas karena
itu menjadi mata uang dominan di negeri ini. Dirham semakin berkurang
karena dua sebab:
pertama, sama sekali tidak dicetak lagi. Kedua, orang-orang melebur dirham untuk
dijadikan perhiasan.
Fenomena yang diamati, dianalisis yang
kemudian dinyatakan secara tertulis oleh Ibnu Taimiyah di atas dan
disempurnakan oleh Al-Maqrizi, ternyata sekitar 1.000 tahun kemudian dengan situasi dan kondisi sedikit berbeda
fenomena sejenis terjadi di Amerika (1782-1834) Pada
waktu itu Amerika mempertahankan kurs mata uang emas dan perak sebesar 1 : 15, meskipun nilai mata uang emas di negara-negara
Eropa menguat berkisar pada kurs 1 : 15,5
hingga 1 : 16,6. Akibatnya, mata uang emas Amerika
mengalir ke Eropa, dan sebaliknya mata uang perak membanjiri Amerika. Fenomena
itulah yang diamati oleh Thomas Gresham (1857M(dan dia nyatakan dengan
bahasanya bahwa, “uang dengan kualitas rendah menendang ke luar uang
berkualitas baik”.
Pernyataan itu sangat dimungkinkan terinspirasi pemikiran Ibnu Taimiyah
dan Al-Maqrizi
mengingat karya kedua pemikir Islam tersebut hingga kini masih dapat dibaca. Namun
pernyataan itulah yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai Hukum Gresham
yang sangat terkenal dan sering dikutip hampir semua buku teks ekonomi
konvensional, dan tanpa pernah menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah jauh sebelumnya
pernah menyatakan hal serupa.
Lebih jauh beliau menyarankan agar gaji para
pegawai hendaknya dibayar dari perbendaharaan negara (baitul mal(Saran beliau tersebut
setidaknya dapat dijelaskan sebagai berikut, pembayaran gaji yang diambilkan
dari hasil pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan penawaran uang,
sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara berarti
menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga dapat
menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan
negara lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar