Al-Mashlahah
Al-Mursalah
Untuk
memenuhi mata kuliah
“Ushul Fiqh”
Dosen Pembimbing:
Dr.
H. Abdul Kholiq Syafa’at, MA
Oleh :
Miftahul Juahari Fahmi A C74209104
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN
AMPEL SURABAYA
SURABAYA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Dalam kaidah-kaidah
ushul fiqh terdapat istilah mengenai Al-Mashlahah Al-Mursalah. Ia merupakan
sebuah upaya dari para pemimpin untuk mencapai kemaslahatan umat. Tidak ada
dalil yang mengesahkan atau membatalkan. Para ulama memiliki beberapa syarat
mengenai diberlakukan atau tidaknya. Agar tidak terjadi penyalahgunaan
sebagaimana hawa nafsu yang akan mendominasi dan merusak. Ada sebagian ulama
yang setuju dan adapun ulama yang tidak sepakat. Maka dalam makalah ini akan
membahas semuanya.
B.
Rumusan
Masalah.
1. Apa
pengertian dari Al-Mashlahah Al-Mursalah?
2. Bagaimana
kehujjahan Al-Mashlahah Al-Mursalah?
3. Apa
saja macam-macam dari Al-Mashlahah Al-mursalah, dan contonya?
C.
Tujuan.
1. Memahami
pengertian dari Al-Mashlahah Al-Mursalah.
2. Mengetahui
kehujjahannya.
3. Mengenal
macam-macam Al-Mashlahah Al-Mursalah, beserta contoh-contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-Maslahah Al –Mursalah.
Dari
segi terminologi, kata al-maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, yang
mengandung arti manfaat.[1]
Dari segi etimologi al-maslahah al-mursalah adalah manfaat baik
secara asal maupun melalui suatu proses, yaitu menghasilkan kenikmatan dan
faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadharatan dan
penyakit. Dimana syari’ tidak mensyariatkan hukum untuk mewujudkan manfaat itu,
juga tidak terdapat dalil yang
menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya. Maka sifatnya mutlak.
Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakkannya, di
dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya dan pembatalnya.[2]
Manfaat
yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ (Allah) adalah sifat menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertipan nyata antara
pencipta dan makhluNya. Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan
mengantarkan kepada kenikmatan.
Dengan
demikian, al-maslahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai
dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Menurut para ulama ushul,
sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah dengan kata
al-munasib al-mursal, ada yang menggunakan al-istidlal al-mursal.
Istilah-istilah ini tetap memiliki tujuan yang sama. Setiap hukum yang
didirikan atas dasar mashlahah dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:[3]
a. Melihat
mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan, misalkan pembuatan akte
nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang. Pembuatan
akte nikah ini memilki kemashlahatan, dan kemashlahatan ini tidak didasarkan pada
dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah ini.
b. Melihat
sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-munasib) yang mengharuskan
adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Seperti contoh
pembuatan akte nikah di atas yang mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan
syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan tetapi, sifat
kesesuaian ini tidak ditujukan oleh dalil khusus. Oleh karena itu disebut
dengan al-munasib al-mursal( kesesuaian
dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil syara’ yang khusus)
c. Melihat proses penerapan hukum terdapat suatu
maslahah yang ditunjukan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan
suatu kasus bahwa hali ini diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’.
Proses seperti ini disebut istishlah( menggali dan menetapkan suatu maslahah).
Walaupun
para ulama berbeda-beda dalam memandang al-mahlahah al-mursalah, namun
hakikatnya tetap satu, yaitu setiap manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan
syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil khusus yang menerima dan
menolaknya.
Al-Ghazali
menyatakan, setiap mashlahah yang kembali kepada pemeliharaan syar’ yang
diketahui dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’, tetapi tidak dipandang dari
ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode qiyas, maka
menggunakan al-mashlahah al-mursalah. Cara mengetahui mashlahah yang sesuai
dengan tujuan itu adalah dari beberapa dalil yang tidak terbatas, baik dari
Al-Qur’an, Sunnah, qarinah-qarinah, dan dari isyarat-isyarat.[4]
Dari
pernyataan al-Ghazali di atas dapat disimpulkan bahwa al-mashlahah al-mursalah
adalah metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara’ yang tidak merupakan
dalil tambahan terhadap nash syara’ tetapi ia tidak keluar dari nash syara’.
Menurutnya, la-mashlahah al-mursalah merupakan hujjah qath’iyyah selama
mengandung arti pemeliharaan maksud syara’, walaupun dalam penerapannya zhanni.
Adapun
menurut Imam Maliki adalah suatu mashlahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip,
dan dalil-dalil syara’, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik
bersifat primer maupun sekunder.[5]
Adapun
contoh dari al-mashlahah al-mursalah adalah kemashlahatan yang diharapkan oleh
sahabat dalam menetapkan adanya penjara, mencetak mata uang, kepemilikan tanah
hasil penaklukan dengan kewajiban menbayar pajak. Contoh lainnya seperti
qishas, dera bagi pezina, dan memberi hukuman kepada para pencuri.[6]
B.
Kehujjahan
Mashlahah.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa al-amshlahah al-mursalah adalah hujjah syara’ yang
dipakai landasan penerapan hukum. Kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash,
ijma’, qiyas, atau istihsan, maka ditetapkan hukum yang dituntut oleh
kemaslahatan umum. Dan penetapan hukum berdasarkan kemashlahatan ini tidak
tergantung pada adanya saksi syara’ dengan anggapannya.[7]
Alasan-alasan dari
pendapat mereka adalah:[8]
a. Kemaslahatan
umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya. Jadi pembentukan hukumnya
menerapkan kemaslahatan umat manusia.
b. Orang
yang mau meneliti penetapan hukum yang dilarang para sahabat Nabi, tabi’in dan
imam-imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka terapkan
demi menerapkan kemaslahatan umum, bukan karena ada saksi dianggap oleh syari’.
Ulama
Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga
syarat, yaitu:
·
Kemaslahatan itu
sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung
nash secara umum.
·
Kemaslahatan itu
bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang
ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat
dan menghindari atau menolak kemudaratan.
·
Kemaslahatan itu
menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok
kecil tertentu.
Ulama
golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga menjadikan maslahah sebagai salah
satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyas. Ada
beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat
dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
·
Maslahah itu sejalan
dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
·
Maslahah itu tidak
meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
· Maslahah
itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut
kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu
berlaku sama untuk semua orang.
Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum islam.
Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum islam.
Alasan
Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum, antara lain adalah:
· Hasil
induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan
bagi manusia.
· Kemaslahatan
manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan
mereka sendiri. Apabila syari’at islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja,
akan membawa kesulitan.
· Jumhur
Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti
Umar ibn al-Khathab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf (orang yang
baru masuk islam), karena menurut ‘Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut
untuk hal itu.
Para
ulama yang menjadikan hu[9]jjah
al-mashlahah al-mursalah, mereka berhati-hati dalam hal itu, sehingga tidak
menjadi pintu bagi pembentukkan hukum syariat menurut hawa nafsu dan keinginan
perorangan. Karena itu mereka mensyaratkan dalam maslahah mursalah yang
dijadikan dasar penmbentukan hukum itu tiga syarat sebagai berikut :
1.
Berupa mashlahah yang
sebenarnya, bukan mashlahah yang bersifat dugaan. Yang dimaksud dengan ini,
yaitu agar direalisir pembentukan hukum suatu kejadian itu, dan dapat
mendatangkan keuntungan atau menolak madharat. Contohnya, dalam hal merampas
hak suami untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu
bagi hakim saja dalam segala keadaan.
2.
Berupa maslahah yang
umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. Maksudnya, agar dapat direalisir
bahwa dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan
kepada kebanyakan ummat manusia, atau dapat menolak mudharat dari mereka, dan
bukan mendatangkan keuntungan kepada seseorang atau beberapa orang saja di
antara mereka.
3.
Pembentukan hukum bagi
maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan
oleh nash atau ijma’. Jadi tidak sah mengakui maslahah yang menuntut adanya
kesamaan hak di antara anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian harta
waris, karena masalah ini adalah masalah yang dibatalkan.
Sebagian
ulama umat islam berpendapat bahwa kemashlahatan umum itu tidak menjadi dasar
penetapan hukum, meskipun tidak ada saksi syara’ yang menyatakan dianggap atau
tidaknya kemaslahatan itu. Mereka menggunakan dua alasan :[10]
1.
Syariat itu sudah
mencakup seluruh kemaslahatan manusia, baik dengan nash-nashnya maupun dengan
apa yang ditunjukkan oleh qiyas. Kemaslahatan yang tidak ada saksi dari syari’
yang menunjukkan anggapannya, pada hakikatnya adalah bukan kemaslahatan,
melainkan kemaslahatan semu yang tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.
2.
Penetapan hukum
berdasarkan kemaslahatan umum adalah membuka kesempatan hawa nafsu manusia,
seperti para pemimpin, penguasa, ulama pemberi fatwa. Sedangkan kemaslahatan
adalah suatu hal yang relatif,
tergantung sudut pandang dan lingkungan. Maka penetapan hukum syari’at karena
kemaslahatan umum berarti membuka pintu kejelekan.
C.
Pembagian
Al-Mashlahah Al-Mursalah.
Para
ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari
beberapa segi adalah:
A. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1. Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu :
1. memelihara agama,
2. memelihara jiwa,
3.
memelihara akal,
4. memelihara keturunan, dan
5. memelihara harta.
Kelima
kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
2. Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3. Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.
2. Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3. Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.
B. Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1. Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).
C. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1. Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2. Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adapt kebiasaan.
D. Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada:
1.
Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’.
Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut.
2. Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
3. Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu:
2. Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
3. Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu:
1.
maslahah al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang
sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara
umum.
2.
maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau
nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits)
BAB III
KESIMPULAN
Al-maslahah al-mursalah adalah suatu
kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalannya. Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat,
yaitu:
·
Kemaslahatan itu
sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung
nash secara umum.
·
Kemaslahatan itu
bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang
ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat
dan menghindari atau menolak kemudaratan.
·
Kemaslahatan itu
menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok
kecil tertentu.
Macam-macamnya
adalah: Maslahah al-Tahsiniyyah, Maslahah al-Hajiyah, Maslahah al-Dzaruriyyah, Maslahah
al-Mutaghayyirah, Maslahah al-Mu’tabarah, Maslahah al-Mulghah, Maslahah
al-Mursalah, dan lain sebagainya
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,
Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih.
Jakarta: Pustaka Amani.
Khallaf,
Abdul Wahhab. 1993. Ilmu Usul Fikih. Jakarta:
PT. RINEKA CIPTA.
Khallaf,
Abdul Wahhab.2002. Kaidah-kaidah Hukum
Islam( Ilmu Ushulul Fiqh). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Syafe’i,
Rachmat.2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:
CV. PUSTAKA SETIA.
[1] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA.Ilmu
Ushul Fiqih.(Bandung: CV. PUSTAKA SETIA), hlm. 117
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf.Kaidah-kaidah
Hukum Islam Ushul Fiqh.( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), hlm. 123-124.
[7] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu
Ushul Fikih. (Jakarta: Pustaka Amani), hlm. 111-112.
[8] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu
Usul Fikih. (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA), hlm. 100
[9] Op.cit, hlm. 113-114
[10] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar