Rabu, 02 Mei 2012

kaidah fiqhiyah ar-dhararu yuzaalu


BAB I
PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Kaidah fiqih yang keempat ini berisi tentang eliminasi kesulitan bagi manusia. Dalam keadaan tertentu, ketetapan Allsah sulit dilaksanakan oleh manusia. Oleh karena itu, kebolehan berbuka puasa ramadhan bagi yang sakit atau dalam perjalanan, jamak dan qashr sholat merupakan suatu upaya untuk menghindari kesulitan bagi yang sakit atau dalam perjalanan. Dalam kaidah ini juga mencakup dasar kaidah yang digunakan sebagai pedoman yang berguna untuk menghilangkan  kesulitan (al-dhararu yuzaalu).
2.      Rumusan Masalah
·  Bagaimana cara menghilangkan kesulitan?
·  Apa kaidah dasar yang digunakan untuk menghilangkan kesulitan?
·  Mengapa kesulitan harus dihilangkan?
3.     Tujuan  Penulisan
·  Untuk memenuhi tugas mata kuliah kaidah-kaidah fiqiyah.
·  Untuk memberikan wawasan kepada pembaca tentang bagaimana kesulitan dan dasar-dasar kaidah yang di gunakan.














BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Al-Dharar
Darar artinya perbuatan yang menimbulkan mafsadat atau tindakan yang merugikan pihak lain. Adapun dhirar artinya saling membalas mudharat dengan mudharat lain yang dilakukan oleh kedua pihak.[1] Menurut sebagian pendapat, dharar berarti sebagai suatu bentuk tindakan yang memudharatkan pihak tetapi menguntungkan pihak yang melakukannya. Adapun dhirar adalah tindakan yang membahayakan orang lain dan tidak menguntungkan yang melakukannya.[2]
Ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata al-dharar dan dhirar. Perbedaan tersebut dapat dilihat sebagi berikut:[3]
a)      Menurut Al-Khuraisi, al-dharar adalah sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya tetapi menyulitkan orang lain yang ada disekitarnya.sedangkan al-dhirar adalah sesuatu yang tak ada manfaatnya bagi diri pelaku, dan juga menyulitkan orang lain yang ada disekitarnya.
b)      Ibn Atsir dalam kitab al-nihayat, mengatakan bahwa arti la dharara adalah seseorang tidak menyulitkan saudaranya dan makna la dhirara adalah jangan menyulitkanorang lain dengan melampaui batas sehingga dirinya sendiri terkena kesulitan tersebut.
c)      Ulama lain mengatakan bahwa al-dharar adalah seseorang yang mempersulit orang lain yang orang tersebut tidak pernah mempersulit dirinya.sedangkan al-dhirar adalah perbuatan seseorang yang mempersulit orang lain yang orang tersebut pernah mempersulit dirinya dengan tidak bertujuan untuk melakukan permusuhan atau melakukan balas dendam. Kaidah fiqih yang dibentuk ulama’ dalam rangka mengeliminasi kesulitan adalah al-dhararu yuzaalu.
B.     Dasar-dasar kaidah
Seperti kaidah lainnya, kaidah ini, memiliki landasan atau dasar dari ayat al-qur’an dan sunnah. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-baqarah ayat 231-232:[4] : "apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka
232. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya."
Dua ayat diatas menunjukkan bahwa menyulitkan orang lain tidak boleh, begitu juga menyulitkan diri sendiri. Untuk melengkapin kaidah dasar, ulama menetapkan beberapa kaidah sbb:[5]
ü  Kemudharatan harus dihilangkan .
ü  Kemudharatan tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang sama.
ü  Kemudharatan dapat ditolak sesuai dengan kebutuhan.
ü  Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat, maka yang harus yang harus dihindari adalah mafsadat yang lebih besar dengan mengorbankan  mafsadat yang lebih  kecil.
ü  Bahaya yang lebih besar dapat dihilangkan dengan bahaya yang lebih kecil.
ü  Menolak mfsadat adalah lebih utama dari pada menggapai kemaslahan.



v  Kaidah Pertama
“keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang”[6]
Salah satu contoh adalah keharaman memakan daging bangka. Allah berfirman dalam surat al-maidah ayat: 3: "diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah".
Dalam ayat tersebut, Allah SWT secara tegas menyatakan bahwa bangkai diharamkan untuk dimakan, akan tetapi di akhir ayat tersebut allah memberikan peluang kepada manusia untuk memahan bangkai dalam keadaan terpaksa.
v  Kaidah Kedua
“sesuatu yang dibolehkan karena terpaksa hanya sebatas untuk mencukupi kebutuhan”[7]
Dalam kaidah ini ditegaskan bahwa dalam memakan benda yang diharamkan ketika terpaksa, tidak boleh melebihi dari sekedar kebutuhan ketika itu. Oleh karena itu, yang kehausan dibolehkan meminum khamr (dalam keadaan darurat), tapi tidak boleh melebihi dari sekedar untuk menghilangkan dahaga atau haus, apalagi meminumnya hingga yang bersangkutan mabuk.
v  Kaidah Ketiga
“kesulitan tidak dihilangkan dengankesulitan lain(baru)”[8]
Dalam kehidupan, seringkali terjadi sesuatu yang dilematis yang penyelesaiannya betul-betul memerlukan pertimbangan yang matang. Dalam menyelesaikan suatu kesulitan , kita hendaknya menghindari persoalan yang dapat menjadi kesulitan berikutnya.
Contoh: seseorang yang sedang mengalami kelaparan tidak boleh mengambil makanan yang juga kelaparan. Sebab, jika makanan tersebut diambil tersebut diambil, berarti ia akan menjatuhkan orang lain dalam bahaya kelaparan yang sama, meskipun mudharat bagi dirinya dapat dihilangkan.[9]
v  Kaidah Keempat
“al-hajat ditempat pada posisi dharurat”[10]
Ulama membedakan antara al-hajat dengan al-dharurat. Keterpaksaan melakukan atau memakan sesuatu yang diharamkan karena dzatnya (li dhatih) disebut dharurat. Khamr adalah haram li dzatih. Oleh karena itu, keterpaksaan dalam mengkonsumsi khamr disebut dharurat.. sedangkan keterpaksaan dalam melakuka atau menahan sesuatu yang haram karena yang lain (li ghairih) disebut al-hajat, seperti kebolehan melihat aurat perempuan bagi dokter untuk kepentingan pengobatan.
Atas dasar kidah diatas, al-hajat di tempatkan pada posisi dharurat. Seperti melihat aurat perempuan bagi dokter untuk kepentingan pengobatan.













BAB III
PENUTUP
Ø  Kesimpulan
Darar artinya perbuatan yang menimbulkan mafsadat atau tindakan yang merugikan pihak lain. Adapun dhirar artinya saling membalas mudharat dengan mudharat lain yang dilakukan oleh kedua pihak. Menurut sebagian pendapat, dharar berarti sebagai suatu bentuk tindakan yang memudharatkan pihak tetapi menguntungkan pihak yang melakukannya. Adapun dhirar adalah tindakan yang membahayakan orang lain dan tidak menguntungkan yang melakukannya.
Ulama menetapkan beberapa kaidah sbb:
ü  Kemudharatan harus dihilangkan .
ü  Kemudharatan tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang sama.
ü  Kemudharatan dapat ditolak sesuai dengan kebutuhan.
ü  Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat, maka yang harus yang harus dihindari adalah mafsadat yang lebih besar dengan mengorbankan  mafsadat yang lebih  kecil.
ü  Bahaya yang lebih besar dapat dihilangkan dengan bahaya yang lebih kecil.
ü  Menolak mfsadat adalah lebih utama dari pada menggapai kemaslahan.













DAFTAR PUSTAKA
o   Mubarok, jaih. 2000. kaidah fiqih:sejarah dan kaidah-kaidah asasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
o   Fadal, Moh. Kurdi. 2008.kaidah-kaidah fiqih.. Jakarta: CV. Artha Rivera





[1] Moh.kurdi fadal.kaidah-kaidah fiqih(Jakarta: cv.artha rivera) hal:51
[2] Ibid hal:51
[3] Jaih mubarok. kaidahfiqih: sejarah dan kaidah asasi (Jakarta:PT.Rajawali Grafindo Persada) hal: 148
[4] Jaih mubarok.kaidah fiqih: sejarah dan kaidah asasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hal: 147
[5] Moh. Kurdi fadal. Kidah-kaidah fikih (Jakarta: CV. Artha Rivera) hal: 51
[6] Jaih mubarok.kaidah fiqih: sejarah dan kaidah asasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hal: 149
[7] Jaih mubarok.kaidah fiqih: sejarah dan kaidah asasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hal: 151
[8] Jaih mubarok.kaidah fiqih: sejarah dan kaidah asasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hal: 151
[9] Moh. Kurdi fadal. Kidah-kaidah fikih (Jakarta: CV. Artha Rivera) hal: 53
[10] Jaih mubarok.kaidah fiqih: sejarah dan kaidah asasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hal: 152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar